Hikmah Puasa Ramadhan #3: Belajar mengendalikan diri

Perlunya menguasai diri

Melanjutkan serial hikmah puasa yang pertama dan kedua, kali ini saya ingin membahas peran puasa dalam mendidik kita untuk menguasai diri sendiri. Betapa banyaknya manusia yang tidak bisa menguasai diri sendiri. Menguasai diri sendiri adalah seni kehidupan tertinggi. Kenapa? banyak sekali alasannya, diantaranya:

Tak mungkin mengendalikan selain diri

Karena kita tidak bisa mengontrol apapun diluar kita. Kita tidak bisa mengontrol orang lain, benda benda disekitar kita, atau apapun selain diri kita. Jika orang lain berbuat tidak baik kepada kita, kita tidak bisa mengontrolnya. Jika ada kejadian yang tidak menyenangkan diri kita, kita tidak juga bisa mengontrolnya. Satu satunya yang bisa kita kontrol adalah diri sendiri. Bagaimana hati kita menyikapi setiap kejadian di luar kita. Jika hati kita telah diluaskan oleh Allah, tentu apapun yang terjadi, kita selalu dapat menemukan hikmah dan nikmat di dalamnya.

Berkuasa penuh atas diri

Menguasai diri sendiri artinya kita benar benar berkuasa terhadap diri kita sendiri. Diri kita ini terdiri dari jasad insaniah, badan, wujud, tubuh kita, serta ruh, hati, dan pikiran kita. Artinya, kita benar-benar menjadi manusia. Bukan manusia yang di drive oleh rasa lapar, rasa haus, rasa ingin berkuasa, dan lain sebagainya.

it is not the ocean we conquer but ourselves.

dudunotes.com

Dampak positif dari pengendalian diri

Orang yang bisa menguasai diri sendiri, sudah selesai dengan dirinya sendiri, akan selalu siap untuk jadi nomor terakhir. Dia akan rela dan ikhlas untuk menunggu giliran paling akhir di saat semua orang berebut takut tidak kebagian. Akan selalu legowo dengan apapun kondisi buruk yang menimpa dirinya. Akan selalu bisa bersabar, menahan amarah, dll. Pusat kebahagiaan adalah bagaimana kita bisa menata hati kita sendiri disaat kondisi yang sangat tidak sesuai dengan ekspektasi kita.

Pengendalian diri dalam berpuasa

Mari kita lihat prosesi puasa sekarang:

Puasa secara fisik adalah menahan diri dari: makan, minum, berhubungan badan dengan suami/ istri, dari terbitnya fajar (subuh) hingga terbenamnya matahari (Magrib). Semua hal fisik yang saya sebutkan di awal adalah perbuatan halal. Artinya, di bulan biasa, perbuatan tersebut justru bernilai ibadah ketika selalu kita niatkan untuk beribadah kepada Allah. Makan dan minum adalah ibadah, halal, salah satu bentuk usaha kita dalam mensyukuri karuniaNya berupa badan yang sehat.

Puasa mengajari kita untuk mulai mengendalikan nafsu makan dan minum. Kenapa? kebutuhan pokok ini sering menyeret manusia kedalam perbuatan perbuatan yang tidak baik. Urusan perut, saudara bisa saling bunuh. Sesama bangsa bisa bertikai. Anak dan orang tua bisa berpisah. Dalam hirarki kebutuhan Maslow, kebutuhan pokok ini memang menjadi salah satu yang harus terpenuhi di awal, sebelum manusia bisa naik ke level yang lebih tinggi. Makan dan Minum seolah bisa menjadi Tuhan kita, yang menjamin kehidupan kita. Hanya dengan makan kita bisa hidup. Hanya dengan minum kita bisa berumur panjang. Sebuah pemahaman yang kurang tepat. Kita memang wajib untuk makan dan minum, namun secukupnya. Ingat, hidup kita cuma mampir ngombe.

Sama persis dengan doktrin yang menyatakan bahwa untuk hidup sehat dan berumur panjang, kita perlu makan 4 sehat 5 sempurna. Itu adalah doktrin yang sangat salah. Banyak kok, orang orang di pedesaan atau pedalaman, tidak pernah makan 4 sehat 5 sempurna, dan mereka berumur panjang.

Ada lho, orang yang cuma makan seminggu sekali, atau bahkan tidak makan, hanya baca alfatihah dan sudah kenyang. Lagipula, puasa juga membuktikan kepada kita bahwa makan 2x saja badan kita sudah oke. Tidak perlu makan 3x seperti anjuran medis barat. Cobalah mengurangi makanan. Makan secukupnya. Kita akan melihat betapa berlebihannya cara kita hidup diluar bulan ramadhan.

Manusia hebat harus bisa menahan lapar. Jika tidak bisa menahan lapar, berat. Orang akan dengan mudah berani mencuri, berani bertikai, berani membunuh, hanya karena urusan lapar. Betapa rendahnya. Teringat kata-kata Jendral Hoegeng, kalau kamu jujur kita masih bisa makan nasi dan garam.

Level selanjutnya setelah lapar dan haus bisa dikendalikan

Seperti yang telah sering kita dengar di mimbar pengajian, tingkatan berikutnya dalam berpuasa adalah menjaga hati, ucapan, pikiran, dan perbuatan. Ini adalah level advanced dalam berpuasa. Bukan godaan fisik dan kebutuhan fisik yang sedang diuji, melainkan kondisi hati.

Orang yang bisa menahan diri, akan mampu menahan diri untuk tidak marah ketika berpuasa. Marah adalah bukti nyata seseorang belum bisa mengendalikan dirinya sendiri. Marah itu baik, namun jika sikon nya tepat. Jika sikonnya tidak tepat, atau marah kita terlalu berlebihan meski sikonnya tepat, akan dapat berakibat fatal.

Puasa memerintahkan kita untuk menjaga lisan agar tidak ghibah, tidak mengumpat, dll. Puasa mengajarkan kepada kita untuk lebih mengendalikan diri sendiri.

Jika kita memperhatikan tujuan dan makna puasa seperti di atas, sesungguhnya menggelikan kalau kita sahur dan berbuka secara berlebihan agar badan kita tahan/ kuat terhadap lapar dan dahaga. Kita mencoba mengganti menu dengan extreme dengan harapan menu tersebut bisa long lasting dan membuat kita tidak lemas dan tidak lapar. Bahkan, ada menu-menu khusus yang pada hari biasa tidak kita makan/ minum.

Padahal, justru di saat kita merasa lapar dan haus itulah kita diuji. Apakah kita benar benar bisa mengendalikan diri. Tidak “maksa” walau posisi lapar. Tidak “kalap” meski dalam kondisi kehausan. Dan nyatanya, semua orang bisa. Dan memang seharusnya bisa. Itulah yang dibuktikan pada saat berbuka. Sedikit saja kita makan menu takjil, kita sudah langsung kenyang. Itulah. Sekecil itulah yang sesungguhnya dibutuhkan manusia untuk menahan punggungnya.

Lucu juga kemudian ketika, di saat Allah memberikan ijin kita untuk makan setelah menahan lapar dan dahaga, kita buka puasa dengan balas dendam. Atau dengan cara lain, makan pas buka, lalu makan lagi setelah tarawih. Orang semacam ini hanya “mengganti jam makan”. Jauh dari tujuan dan makna puasa yang sesungguhnya.

Makin lucu lagi ketika orang puasa lebih banyak tidur daripada beraktifitas. Dalilnya tentu, mereka berkata tidurnya orang puasa adalah ibadah. Mereka lupa makna yang lain dari dalil tersebut. Jika tidur saja bernilai ibadah, apalagi terjaga dalam urusan di jalan Allah. Apalagi tadarus. Apalagi iktikaf. Apalagi belajar. Apalagi bekerja untuk keluarga. Lagipula, tidur di luar bulan puasa tetaplah bermakna ibadah jika kita niatkan untuk mengistirahatkan badan. Bahkan, makan pun juga merupakan ibadah. Semua tergantung niatnya.

Akhir kata, marilah kita bersama merenungkan salah satu hadist Rasulullah tentang puasa berikut ini:

“Kenikmatan orang berpuasa ada dua. Satu ketika ia berbuka, dan satu lagi ketika ia bertemu Tuhannya….”

Al Hadist

Puasa dari apa saja yang berlebihan

Sejarah mencatat, puasa itu kuncinya adalah menahan. Menahan apa? bisa menahan apa saja. Ada orang yang berpuasa bicara. Ada orang yang berpuasa mutih. Puasa tidak tidur, puasa pandangan mata, dan lain sebagainya.

Esensi dari puasa adalah bagaimana kita mampu menahan sesuatu yang sebenarnya untuk kita boleh. Jika kita mampu melakukan hal tersebut, nenek moyang kita terdahulu telah membuktikan bahwa puasa akan memunculkan aneka karomah, kelebihan yang tidak diberikan oleh Allah kepada orang lain.

Semoga di momen ramadhan kali ini, kita bisa lebih mendalami dan mengerti makna dari berpuasa.

17 Mei 2018

di edit 9 April 2023

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *