Hidup ini cuma mampir minum. Urip mung mampir ngombe kata orang Jawa. Kalimat yang sering kita dengar tapi kita jarang memahami maknanya, apalagi meng-aktualisasi kannya dalam kehidupan sehari-hari. Alih-alih mencoba meresapinya, di era informasi yang serba cepat ini, kita bahkan tidak punya waktu untuk merenungkan makna dibalik falsafah ini. Kira-kira, kenapakah orang tua kita dahulu memberi wejangan bahwa hidup ini cuma mampir minum? ijinkan saya menyampaikan 3 catatan saya terkait wejangan ini. Bisa jadi keliru, namun semoga bisa menambah khazanah teman-teman semua.
Urip kuwi mung koma (Hidup hanyalah koma)
Bahasan pertama kita dalam urip mung mampir ngombe adalah kata “mampir”. Ya, itu artinya cuma koma. Ada lanjutannya. Namanya juga cuma mampir. Jangan berpikir untuk bermalam apalagi bermukim disini. Hidup kita tidak berhenti sampai di kehidupan dunia saja. Memang sih, bukan jasad kita yang diperjalankan kembali. Dia lah ruh yang akan melanjutkan perjalanan dalam kehidupan selanjutnya. Orang Jawa juga punya istilah sangkan paraning dumadi, yang artinya kurang lebih sama dengan Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Sesungguhnya kita berasal dariNya dan akan kembali kepadaNya.
Sedikit lucu memang di budaya sekitar kita saat ini. Ketika ada kerabat atau kolega yang wafat, kita ucapkan kalimat tersebut. Namun pengucapannya sering tidak berkesan dan malah kita tujukan kepada keluarga yang sedang berduka. Seolah-olah kita sedang berkata, sabar ya, semua memang akan kembali kepadaNya!. Padahal, kalau menilik pada konstruksi kalimat di atas, kita sedang mendeklarasikan diri kita sendiri yang fana. Kalau dipertajam lagi, kita sedang bilang “sesungguhnya saya berasal dari Allah dan saya juga akan kembali kepadaNya suatu saat nanti, persis seperti beliau yang telah meninggal ini”.
Sudahkah kita merindukan pulang?
Hal aneh berikutnya adalah bagaimana kita bersikap terhadap sebuah kematian. Kebanyakan, sekali lagi saya bilang kebanyakan, suasana yang ada dalam setiap datangnya kematian adalah kesedihan. Tidak salah sih, kita merasa bersedih. Apalagi jika yang meninggal adalah orang terkasih kita seperti orang tua, anak, saudara, pasangan, dll. Berat rasanya kita berpisah dan tidak bisa bertemu dengan mereka kembali. Namun, pernahkah kita berpikir sudut pandang orang yang meninggal?
Saya pastikan, untuk orang orang yang sudah selesai dengan hidupnya, mereka sedang bersenang hati. Itulah kenapa ada istilah lebih tepat dari kematian yakni berpulang. Ya, pulang, Siapa yang tidak suka pulang? buat orang orang baik yang mencintai kebajikan, pulang adalah suatu kenikmatan tersendiri. Tidak percaya? kenapa orang rela bermacet-macet ria untuk mudik ke kampung setiap tahun? karena disitu kita sedang pulang. Tapi, tentu ada saja orang yang takut untuk pulang. Misal, hubungannya dengan kedua orang tua sedang tidak baik. Begitu juga dengan kematian. Jika hubungan kita dengan Tuhan Yang Maha Esa tidak baik-baik saja, tentu kita takut bertemu beliau.
Pulang menuju Empunya diri
Terkait hal ini, ada sebuah riwayat dari seorang sahabat Badui Rasulullah yang mungkin bisa menambah keberanian dan semangat kita bertemu denganNya. Perlu diketahui bahwa orang Badui dalam nomenklatur kita mirip dengan istilah orang dusun. Mereka orang yang tinggal di pedalaman, hidup dengan bertani, dan suka apa adanya dalam berbicara/ tanpa tedeng aling-aling dan politik.
Diriwayatkan ketika itu, seorang sahabat Badui datang menghadap Rasulullah dan lantas mengajukan sebuah pertanyaan. “Ya Rasulullah, apakah yang akan mengadili kami nanti di hari kiamat adalah Allah?”. Kata Rasul, “Ya, Allah yang akan menghisab kita nanti di hari kiamat”. Mendengar jawaban Rasul, badui tersebut lalu berkata “Kalau begitu, tidak ada yang harus aku khawatirkan. Aku tidak pernah punya masalah dengan Allah dan Allah yang aku kenal sangat baik memberikan banyak hal dalam hidupku”. Mendengar jawaban itu, Rasulullah pun tersenyum tanda bahwa beliau menyetujui konstruksi berpikir si Badui.
Ya, kematian harusnya tidaklah menakutkan. Kita sedang berpulang kepada Sang Maha Pengasih, yang telah banyak dan selalu mencurahkan berkat, rahmat, hidayah, dan inayahNya kepada kita sepanjang hidup. Orang baik rindu untuk pulang. Sangat kangen dengan Tuhannya. Selain itu, kematian adalah pintu terputusnya mereka dari potensi berbuat dosa dan memanen apa yang telah mereka tanam sebelumnya yaitu kebaikan dan amal soleh.
Asal, dimana kita saat ini, dan kemana kita menuju
Dalam falsafah jawa, hidup kita sekarang ada di fase pertengahan. Sebelumnya kita hidup di alam purwa (permulaan), saat ini kita hidup di alam madya (tengah), dan nanti kita akan hidup kembali di alam wasana (akhir). Begitulah orang Jawa berfalsafah tentang darimana kita dan kemana kita akan mengarah. Ketidakmampuan kita memahami hal ini akan membuat kita terjebak dalam aktivitas harian yang tidak bermakna. Kita pernah tidak ada. Sekarang kita ada. Suatu hari nanti, kita akan tidak ada kembali. kata Mbah Nun “Jangan mati-matian mengejar sesuatu yang tidak kita bawa mati“.
Implikasi dari pemahaman kita tentang hal ini sangatlah luas. Pertama, selalu berhati-hati. Perhatikan konstruksi kalimatnya. Yang harus kita jaga adalah hati. Hati hati lah dalam segala hal. Kenapa? karena suatu saat kita akan dimintai pertanggung jawaban atas semua yang kita lakukan. Kalau kita pernah zalim dengan orang lain dan orang tersebut tidak bisa membalas, ingatlah selalu bahwa kezaliman kita akan kita pertanggung jawabkan. Jangan merasa menang jika kita berhasil berbuat jahat tanpa ketahuan dsb.
Kedua, bersabar terhadap ujian. Ujian seberat apapun, yakinlah bahwa waktu akan melewatinya. Inipun akan berlalu. Percayalah, meskipun roda berputar sangat pelan, dia tetap saja berputar. Kata kata cantik ini saya temukan dalam sebuah games peradaban berjudul Civilization VI. Coba perhatikan di dalam hidup kita. Seberat apapun hari yang akan kita lalui, tetap saja sore akan datang. Malam akan menjelang dan hari berat itu akan berlalu. Bersabarlah. Mungkin angin sedang tidak memihak kita, namun pasti ia memihak kita suatu saat nanti.
“Sometimes the wheel turns slowly, but it turns.”
Civilization VI
Ketiga, bersiaplah untuk giliran. Orang bilang Badai pasti berlalu. Ini kalimat penyemangat. Bentuk positifnya yang ditonjolkan. Tapi, kita juga harus sadar bahwa, kalimat ini ada lanjutannya. Ya, badai memang pasti berlalu. Tapi hari yang cerah juga ada masanya. Dia pun akan berlalu berganti dengan badai yang datang kembali. Sadarilah hal ini sejak dini. Giliran itu ada dan kita memang sedang diperjalankan untuk mengalaminya.
Jangan terlalu menikmatinya
Jika kamu sedang transit di sebuah bandara, kira-kira, apa yang akan Kamu lakukan? tentu jawabannya tergantung berapa lama transitnya. Ini masalah. Lho, kok masalah? iya, karena tidak ada yang tau seberapa lama kita transit. Yang jelas, pikiran kita jangan kita lepaskan dari tujuan akhir perjalanan karena disanalah kita baru bisa beristirahat yang sebenar-benarnya dan selama-lamanya.
Boleh saja kita coba kuliner khas sebuah daerah. Sambil kita selami bagaimana orang di daerah tersebut berkomunikasi, berinteraksi, dan sebagainya. Ini adalah jamuan umum dari berkunjung ke suatu daerah. Kita juga boleh membeli cinderamata, ke toilet, atau bahkan beribadah. Nanti, akan kita dengar sebuah pengumuman yang memanggil kita untuk bersiap melanjutkan perjalanan. Pengumuman ini bisa berupa rambut yang mulai beruban. Fisik yang mulai rapuh, dan orang sekitar yang mulai memanggil kita dengan sebutan ‘kakek’.
Ya, kita dilarang keras untuk terlalu menikmati jeda yang kita lakukan ini. Dilarang (terlalu) mencintai apapun yang kita temui selama transit. Kalau kita (terlalu) mencintai satu hal saja, maka hati kita akan tertinggal padanya. Ada orang mampir beli makanan, kok jatuh cinta sama yang jualan, sudah bisa dipastikan dia tak kan beranjak kemana-mana. Jikalau pun harus pulang kerumah, dia pasti punya rencana untuk kembali lagi ke warung makanan tersebut. Inilah yang tidak boleh dilakukan. Bukan apa-apa, demi kebaikan diri kita sendiri.
Masalahnya, yang kita tadi terlalu cintai juga sedang transit. Kita juga tak tau seberapa lama dia transit. Bisa mirip dengan kita, bisa lebih cepat, atau bahkan lebih lambat. Ada salah satu tetangga saya, saat ini mungkin beliau berusia hampir 90 tahun. Beliau sudah merasakan ditinggal berpulang oleh suami, serta semua anak2nya. Kini yang tersisa tinggal cucu dan cicitnya saja. Bayangkan kalau beliau terlalu mencintai suami dan anak anak beliau. Betapa kesepiannya hidup beliau saat ini.
Wallahua’lam bissowab
Lanjut ke Bagian 2 disini.
Sumenep, 30 Maret 2022