sunset, tree, water-1373171.jpg

Perayaan Cinta Lelaki Senja

Menurutmu, apa warna dunia ini? Tanyakan pertanyaan ini pada beberapa orang. Kaum terpelajar akan mengatakan dunia ini hitam dan putih. Lanjutkan bertanya dengan menanyakan: Lebih banyak mana antara hitam dan putih? Jawabannya akan beragam. Sangat tergantung pada kisah hidup tiap orang, dimana dia tinggal, bersama siapa dia berkawan, atau bahkan pada siapa dia berTuhan. Orang di daratan China, akan berkata mereka seimbang. Seperti Yin dan Yang saja katanya. Mereka berbeda, namun saling membangun satu sama lain. Yang hitam    punya sedikit putih. Yang putih juga punya sedikit hitam. Itulah ketidaksempurnaan.

Kalau kau tanya sahabatku, Pak Trimo, dunia ini abu-abu katanya. Warna ini sudah lama mendominasi dunia. Yang putih benar, memang ada. Hitam benar, juga ada. Namun, terlalu banyak yang tidak begitu jelas kelaminnya.Sayangnya, sekolah kita tidak mau mengajarkan abu-abu. Di dalam tradisi akademik, semua dapat dinilai dan terukur. Abu-abu tidak masuk dalam kategori ini. “Mungkin karena saking sulitnya, mengubah abu-abu menjadi angka”, begitu pak Trimo selalu bertutur.

Nyatanya, abu-abu bukanlah urusan cethek. Diskusi abu-abu sangat sulit menemukan jalan keluar. Apalagi, kalau semua orang memakai kacamata kudanya. Masing-masing pihak merasa benar. Tak jarang abu-abu membuat orang tergelincir. Abu-abu sering membuat orang cidera. Abu-abu membuat orang zalim bebas menzalimi orang lemah. Abu-abu dapat menjadi sumber malapetaka!

Lho, Anda jangan asal ngomong bung! Salah apa abu-abu hingga Anda memakinya seperti itu. Bukan memaki, saya sendiri jadi korbannya!


Hari ini, malam melanjutkan perayaan cintanya. Daun-daun berserak, terbang tertiup angin, sambil perlahan melantukan lagu kasmaran. Dinginnya angin menambah syahdu, lolongan anjing mengamini rinduku. Oh, apa kabarmu disana wahai cintaku? Apa kabarmu disana duhai anakku? Apakah kalian makan cukup hari ini? Apakah ada baju yang melekat di badan kalian kini?

Angin malam menjemput anganku. Teringat betul potret keluarga kecilku dulu. Paras indah Sekar, mantan istriku, bening dan sucinya wajah Gendhis, buah hati kami. Aku merindukan mereka. Gendhis sekarang pasti sudah masuk SMA. Terbayang betapa cantiknya anak itu kini. Tentu saja, titisan aku dan ibunya. Pasti banyak lelaki tergila-gila padanya. Anakku itu, putih langsat kulitnya, rambutnya Panjang tergerai hingga sebahu. Parasnya cantik, sebuah lesung di pipi kiri makin menambah pesonanya. Tak mungkin kau mudah lupa akan wajahnya, meski hanya sekali berjumpa. Cara berbicaranya santun dan bersahaja. Seperti gadis yang dipingit di dalam istana saja. Apalagi kalau bukan karena didikanku sejak ia kecil dulu.

Sekar, ibunya Gendhis, bukanlah wanita biasa. Dia terlahir sebagai wanita perkasa. Ini jualah yang mampu membuatku takluk padanya dulu. Bukan main kokohnya jiwa wanitaku itu. Sudah teruji oleh berbagai badai yang menerpa keluarga kecilku, dulu. Aku menyadari Sekar adalah wanita hebat sejak pertama memandang kedua matanya. Tatapan berkarakter kuat yang memikat. Badannya tegak, kalau ia berjalan, seluruh dunia ikut terkesima. Termasuk aku kala itu.


Aku bersyukur ada nyamuk. Sahabat kecil ini seperti malaikat. Bagaimana tidak, dia lah yang selalu bisa membangunkanku untuk bermunajat. Tanpa cubitan darinya, orang orang tua sepertiku akan tetap terlelap dalam kegelapan malam. Kedatangan mereka adalah berkah untuk orang-orang yang ingin mendekatkan diri padaNya.

Ruangan ini berukuran 4×6 meter persegi. Cukup luas memang. Tapi itu kalau untukku sendirian. Nyatanya aku tidak sendiri disini. Aku bersama 9 orang lain. orang orang baik yang aku kenal sejak aku juga tinggal disini. Sembilan orang ini bukanlah penghuni tetap ruangan ini. Mereka silih berganti. Ada yang dapat remisi dan bebas. Ada yang dipindahkan ke lapas lain atas pertimbangan tertentu. Termasuk satu orang sahabat baikku, yang hingga 5 tahun yang lalu bisa bersamaku disini. Trimo Namanya. Orang sering memanggilnya Mas Trimo.

Usianya, sekitar 5 tahun lebih muda dariku. Rambutnya bergelombang dengan sedikit rambut putih satu dua. Wajahnya sangat berwibawa. Pandanglah ia, tanpa mengenalnya pun Anda akan tau kalau dia orang baik. Ya, percaya atau tidak, dia pernah hidup di penjara. Bukan rahasia lagi bahwa penjara sering menjadi rumah tinggal orang baik. Orang-orang baik yang mungkin hidup di zaman yang salah. Dibawah kekuasaan yang zalim, orang orang baik dihukum. Mereka diasingkan dan dihilangkan hak-hak nya. Penderitaan terberat bagi orang yang punya pengaruh adalah, kehilangan pengaruhnya. Orang menyebutnya post power syndrome. Para penguasa zalim memahami hal ini dengan baik.

Ibarat seekor macan yang tidak bisa dibunuh. Dalam rantai makanan, macan menduduki posisi tertinggi. Tidak ada predator bagi macan. Taukah engkau bagaimana macan akan mati? Macan mati karena usia. Lantaran usia, perlahan lahan ia tidak mampu menangkap mangsanya. Nafasnya jadi mudah tersengal, larinya jadi lamban, dan cengkeraman kukunya tidak mampu lagi menghimpit mangsanya. Setelah itu, macan akan mati dengan sendirinya. Kehilangan kekuatan. Itulah analogi untuk pemimpin yang kehilangan kekuasaannya.

Kubetulkan letak sarungku, aku bergegas untuk menuju wastafel di sudut ruangan kecilku ini. Perlahan, kubasuh muka dan tanganku. Aku sadar betul bahwa muka ini adalah muka pendosa. Semoga air dengan segala kebijaksanannya bisa menyucikan hati dan pikiranku ini. Bukan tanpa alasan Tuhan memilih nya sebagai syarat untuk menghadapNya. Air merupakan makhluk yang paling luwes di dunia ini.

Konon katanya, jumlah air di muka bumi ini selalu tetap dan tidak berubah. Air tidak bisa kita musnahkan. Kalau engkau membakarnya, dia akan berubah wujud menjadi gas. Kalau engkau membendungnya dengan batu, dia akan memutarinya, mencari celah sekecil apapun. Berpura pura berpisah namun bertemu di ujung jalan. Lucunya, batu yang keras seperti itu lama lama bisa berlubang terkena tetesan air. Air juga tidak bisa kita perangkap. Coba saja perangkap dia dengan jalan buntu seperti danau. Dia pun akan bermesraan dengan sinar matahari untuk naik pangkat menuju langit.

Filosofi air ini pula yang akhirnya mengantarkanku pada penjara. Aku bukanlah orang suci. Hanya saja, terlalu banyak abu-abu disekitarku. Pada akhirnya, aku tidak mampu menghindarinya. Dengan segala kebijaksanaan hasil gemblengan guru-guruku dulu, aku terpaksa harus bersikap. Ya, Anda mungkin bisa menghindari abu-abu dan hanya memilih posisi aman hitam dan putih. Jika Anda jadi saya, Anda tidak akan pernah bisa melakukannya. Saya adalah seorang pemimpin daerah. Orang menyebut saya Bupati. Sebuah kabupaten di Jawa Barat saya pimpin selama 3 tahun. Berbagai prestasi telah disandang oleh kabupaten yang saya pimpin. Pada akhirnya, sekelompok orang yang mengatasnamakan Tuhan dan kebersihan Lembaga pemerintah, menemukanku melakukan suap. Aku digelandang ke pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Jika Anda menjadi saya, apa yang akan anda lakukan. Saya menyuap bukan tanpa alasan. Saya bukan orang bodoh, ataupun orang tidak beragama. Lawan politik saya kala itu, menggunakan berbagai cara untuk menjegal saya di panggung politik. Oh, betapa durjananya ia. Hakim pun ia suap. Polisi pun ikut gerombolannya. Di tengah kegentingan seperti itu, saya harus memutuskan bagaimana caranya agar kebaikan tetap menang atas kejahatan.  Saya berpikir keras, mengingat apa yang guru-guru saya ajarkan dulu. Dalam kegamangan tersebut, teringat oleh saya pesan mereka tentang suap menyuap.

Adalah menyuap ketika yang kita lakukan akan mengubah keputusan dari yang seharusnya salah menjadi benar. Jika yang terjadi tidak demikian, itu bukanlah suap. Suap semacam ini dipakai untuk bermufakat dengan hakim yang tidak adil. Suapmu adalah untuk menangkal suap serupa yang dilakukan kubu seberang. Lagipula, yang kamu lakukan adalah menjadikan yang benar tetap benar, bukan menjadikan yang salah jadi benar. Kamu berjihad untuk kebaikan. Inilah yang disebut guru kami sebagai suap putih.

Aku memenangkan perkara itu. Ratusan hektar tanah sengketa yang merupakan hak milik rakyat kecil tidak jatuh ke tangan para durjana rakus yang ingin memasukkan apa saja dalam rekeningnya. Mereka rakyat kecilku, sangat berterima kasih kepadaku. Bahkan mereka menangis memelukku, mendoakan banyak kebaikan untukku dan keluargaku. Aku sangat puas, bisa menolong mereka. Mengukuhkan apa yang benar agar tetap menjadi benar. Walau harus berjuang dan melakukan pengorbanan. Buatku, semua itu bukanlah pengorbanan. Ini adalah perayaan cintaku kepada Tuhan. Aku bangga dapat menjadi wakilNya di bumi pertiwi ini. Aku selalu berkata pada anak istriku, bahwa memberi, adalah hak Tuhan yang dititipkan kepada manusia. Betapa beruntungnya manusia yang mampu banyak memberi, mengambil hak Tuhan sebanyak-banyaknya. Tuhan sendiri telah berfirman melalui risalah nabiNya, bahwa manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat dihindari. Hanya setahun berselang dari persidangan itu, lawan politikku kembali dengan kekuatan baru. Dengan segala kepiawaiannya, ia kini memboyong satuan khusus atas nama anti mafia suap. Setumpuk berkas ia tunjukkan untuk menyebutku telah melakukan suap kasus sengketa tanah, yang sebenarnya dia pun juga melakukannya. Aku tak dapat mengelak karena itu memang benar aku lakukan. Oh, betapa miskinnya hukum negara ini. Ternyata ia belum mampu membelah hal yang abu-abu. Hukum negara ini baru mengenal hitam dan putih saja. Tak mengapa aku dipenjara. Aku terima semua ini sebagai bagian dari perayaan cintaku kepada Sang Maha Suci.

Sayangnya, aku tidak sendiri. Ada Sekar dan Gendhis yang masih merupakan tanggung jawab utamaku sebagai seorang ayah. Di dalam penjara, otomatis aku tidak mampu menafkahi mereka. Tidak pula lahir, apalagi nafkah batin. Sekar bukanlah wanita pengecut yang berjiwa lemah. Dia bahkan lebih tegar dan berani daripadaku. Hanya saja, Sekar bukanlah wanita pekerja. Salahku jualah semua ini terjadi. Sejak kami menikah, aku meminta Sekar untuk menjadi ibu sepenuhnya. Menjaga Gendhis, dan menemani suaminya dengan seluruh waktunya. Sekar melakukan hal ini dengan baik. Tanpa aku kira, nasib membawaku dalam hukuman penjara seumur hidup.

Aku masih ingat betapa Sekar dan Gendhis tabah menghadapi cobaan hidup kami ini. Dia selalu berkunjung, setidaknya seminggu sekali untuk melihatku dan menghiburku. Wanita itu memang hebat. Tak ada guratan penyesalan di mukanya. Tak pernah sekalipun ia teteskan air matanya untukku. Dia selalu berkata, “ayah orang hebat”. “Kami bangga memiliki ayah”. Walau jutaan orang di luar sana menghakimiku dengan liar, dia tau alasan kenapa aku melakukannya. Hal ini juga selalu disampaikan kepada Gendhis, walau usianya masih terlalu muda kala itu. Aku amat bersyukur memiliki mereka.

Hari demi hari berlalu. Tidak ada tanda-tanda remisi diberikan untukku. Dalam kunjungannya yang ke 54, Sosok Sekar telah berubah menjadi wanita kurus dengan cekungan mata yang amat dalam. Aku tau diluar pasti berat. Dengan segala hinaan dan celaan masyarakat. Entah bagaimana istriku bisa bertahan hidup, membiayai sekolah dan uang makan anak semata wayang kami Gendhis. Aku tak pernah berani menanyakannya. Bukan karena tidak peduli, tapi lebih kepada tahu diri. Apalah yang bisa aku berikan ketika aku dalam penjara seperti ini.

Pada akhirnya, akupun tak mampu menahan duka ini. Tak mampu sudah aku melihat anak dan istriku menderita lebih jauh lagi. Menderita akibat perbuatan ayahnya, memperjuangkan kebaikan. Hari ini, lima tahun yang lalu. Aku memutuskan untuk menceraikan Sekar. Aku titipkan istri dan anakku Gendhis kepada sahabatku, Trimo. Dia mendapat remisi bebas setelah menjalani masa hukuman selama tiga tahun. Aku mengenal Trimo, dia orang baik. Aku yakin dia bisa menjaga istriku, dan membesarkan Gendhis lebih baik, dari apa yang bisa aku lakukan disini. Sekali lagi, aku merayakan cintaku padaNya. Orang menyebutnya pengorbanan. Aku menyebutnya perayaan cinta. Pada hari aku menceraikannya, Sekar menangis hebat di pelukanku. Aku pun tak mampu membendung air mata ini. Namun, apa lagi yang bisa aku berikan untuk mereka, selain doa yang tulus untuk kebahagiaan mereka. Aku meminta Sekar memulai hidup baru, dan tidak mengunjungiku dalam waktu sepuluh tahun. Aku ingin mereka membuka lembaran hidup baru dengan Trimo. “Kunjungi aku ketika kehidupan kalian sudah membaik …”, hanya itu yang bisa aku katakan padanya. Semoga Tuhan senantiasa menjaga dan melindungi kalian.

Jakarta, 15 Oktober 2019 [MD Awe]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *