Ilmu peperangan di bawah ini saya kutip dari Mbah Nun, guru virtual saya yang menurut saya merupakan pribadi yang telah selesai dengan dirinya sendiri dan orang lain. Suatu ketika, beliau menjelaskan beberapa teori tentang cara bagaimana menaklukkan seekor macan. Menurut beliau, ada 3 cara untuk mengalahkan seekor macan, yang notabene terlihat lebih kuat dan ganas daripada manusia:
Cara 1: Perang dan adu kekuatan
Beberapa orang menganggap cara ini adalah cara laki laki. Orang madura menyebutnya carok. Disini memang cuma fisik yang bermain. Siapa yang ahli dalam ilmu beladiri, bisa jadi lebih besar potensinya untuk menang melawan lawannya. Situ jual, gua beli. Adu jotos adu silat, kita ladeni.
Kamu dapat menerapkan ilmu ini dalam kondisi terdesak seperti misalnya ketika dirampok oleh kawanan begal. Yang paling penting, kita harus pandai-pandai mengukur kemampuan kita. Ukur seberapa kuat backingan kita dibelakang. Perlu diingat bahwa backingan terkuat adalah Allah SWT. Jika kita di backing oleh Tuhan, maka tak ada lagi yang akan berani melawan kita.
Teringat salah satu cerita dari atasan saya dulu. Beliau pernah akan dijatuhkan oleh rekan kerjanya sendiri dalam BUMN. Rekan kerja tersebut membawa setumpuk bukti bahwa beliau telah melakukan pengalah gunaan kekuasaan, korupsi, dan sejenisnya. Disini beliau memilih untuk berperang. Beliau cuma berkata pada rekannya tersebut: Silahkan lakukan apa yang kamu mau lakukan. Saya tidak tahu seberapa kuat orang di belakangmu, kamu juga tidak tahu seberapa kuat orang yang ada dibelakangku. Mari saja kita adu kekuatan. Yang jelas, aku tidak pernah mengganggu hidupmu, sedangkan saat ini kamu mengusik aku dan keluargaku, pekerjaanku. Maka pasti akan aku lawan karena ini adalah jihad bagiku.
Setelah itu, rekan atasan saya tersebut tidak jadi melakukan apapun.
Cara 2: Dengan tipu muslihat (politik), memancing dengan umpan, menjebak macan di perangkap.
Cara mengalahkan macan yang berikutnya adalah dengan tipu muslihat. Beberapa orang menganggap ini cara licik. Namun, tidak semua varian cara ini licik. Cara ini lebih menekankan strategi untuk mengalahkan musuh. Intinya ada pada adu strategi. Gertak menggertak juga merupakan salah satu strategi.
Disini, saya ingat kisah salah satu panglima islam yang terkenal yaitu Khalid bin Walid. Di suatu peperangan, ketika dua pasukan telah saling berhadap-hadapan, Khalid sebagai panglima perang dengan lihai memainkan emosi pasukan Romawi yang sebenarnya sudah keder menghadapi kaum muslimin sejak awal. Dengan berani Khalid berkata: Apakah kalian tau siapa pasukan yang kalian hadapi ini? Mereka adalah pasukan, yang hanya mengenal mati atau menang. Sebab kematian di jalan ini (perang jihad) sama sama mereka cintai dibanding kemenangan. Mereka mati mendapat ridho dari Tuhannya. Mereka menang mendapat pahala yang besar dari Tuhannya. Ini adalah salah satu cara politik yaitu menggertak lawan.
Saya juga ingat kisah nyata tentang agen bus yang berebut keagenan dengan rekannya. Suatu hari, agen tersebut mendengar bahwa bus nya sudah dibajak oleh orang lain untuk diageni. Tanpa pikir panjang, agen ini langsung pulang mengambil dua pisau. Bus yang sedang di jalan dihadang oleh dia diminta untuk berhenti lantaran di dalam bus tersebut ada orang baru tersebut. Di dalam bus, dia langsung memberikan satu pisau kepada lawannya. Ini pisau, ayo kita selesaikan disini. Aku tidak pernah ganggu kamu namun kamu sudah mengganggu mata pencaharianku. Ayo kalau berani maju, mati salah satu diantara kita biar selesai. Lawannya pun kecut karena orang ini malah memberinya pisau untuk bertarung.
Cara 3: Menjadi pawang macan.
Cara ini adalah cara paling hebat dari cara cara sebelumnya. Seorang pawang macan, bisa menaklukkan macan tanpa melakukan apapun. Hal tersebut karena ia pawangnya. Mungkin sang macan sudah hidup sejak kecil bersama pawang-nya. Atau mungkin pawang punya karisma, sehingga, begitu ada kehadiran pawang, sang macan tidak berani melakukan hal-hal liar.
Cara ini pernah dipakai oleh salah satu tokoh pewayangan yang saya lupa namanya. Ketika sang lawan telah menyiapkan kuda jantan yang paling kuat, gagah, perkasa, sehingga setiap kuda yang menghadapinya pasti akan takut dan balik badan. Tokoh wayang ini justru menaiki kuda betina yang sangat cantik. Dengan begitu, kuda jantan malah tunduk terhadapnya.
Suami istri juga begitu. Yang memawangi istri adalah suami, yang memawangi suami adalah istri. Keduanya adalah pawang dari masing-masing. Jadi seberapa cerewetnya pun istri, kalau suami sudah memutuskan sesuatu, istri pasti nurut. Seberapa nakalnya seorang suami, kalau istrinya sudah marah atau bahkan menangis, suami pasti luluh juga.
Indonesia saat ini butuh pawangnya rakyat. Yang bisa mendinginkan hati rakyat yang panas di sosial media. Yang bisa dekat dengan rakyat sehingga siapapun orangnya, merasa sangat senang ketika berada di dekatnya. Yang bisa mendengarkan rakyat, bukan menyalahkan rakyat. Membimbing, bukan nyeramahin.
Cara 4: tanpa kekerasan (ahimsa)
Saya menambahkan cara ke-empat yang tidak disampaikan oleh Mbah Nun. Cara ini menurut saya valid juga tergantung konteks kapan kita menggunakannya. Cara inilah yang dipakai oleh Mahatma Gandhi mengusir penjajah Inggris di India tanpa kekerasan sama sekali. Dia melakukan long march tanpa kekerasan, ditangkap / dipenjara dan tidak melawan. Pada akhirnya, pemerintah Inggris luluh juga dengan memberikan kemerdekaan pada India.
Cara 5: Cinta
Cara ini adalah cara yang dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk mendapatkan hati orang orang mekkah. Rasul membalas semua perbuatan kasar, intimidasi, kekerasan fisik, kekerasan verbal, dan semua penyiksaan terhadap kaum muslimin dengan cinta. Banyak sekali kejadian yang menggambarkan hal ini, namun tentu yang paling terkenal adalah peristiwa fathul Mekkah atau jatuhnya kota Mekah ke tangan kaum muslimin.
Rasulullah yang telah menjadi superior dengan kekuatan pasukan yang luar biasa, tidak justru memilih untuk balas dendan dan meluluh lantakkan semua musuh muslim. Justru, yang berlindung di rumah musuh utamanya aman. Silahkan merujuk pada sirah nabawiyah untuk mengetahui betapa dramatisnya kondisi pada saat itu.
Jakarta, 3 Juli 2017, diedit ulang tanggal 31 Mei 2023