Relatifitas Kebenaran
Kebenaran itu relatif. Banyak sekali faktor penentu relatifitasnya.
Sesuatu dianggap benar, umumnya karena ada minimal satu orang yang mempercayai kebenaran tersebut. Siapa dia? diri kita sendiri. Semakin banyak yang mempercayai kebenaran dari diri kita tadi, biasanya kita akan semakin yakin bahwa apa yang kita yakini benar.
Kadang kadang, kita takut mengungkapkan kebenaran. Apalagi kalau hanya kita yang mempercayainya.
Walau demikian, memang benar, tidak semua kebenaran pantas untuk disampaikan. Disampaikan kepada seseorang, maupun kepada forum. Kadang orangnya, kadang forumnya, belum sampai kepada kebenaran yang kita sampaikan. Menyampaikan hal tersebut, adalah kebodohan. Alih alih membuat mereka bertambah maju, justru berpotensi membuat mereka sesat atau bahkan membenci kita pada akhirnya. Bukan karena mereka jahat, hanya karena mereka belum siap saja sampai kesana.
Saya percaya Rusa tidak boleh diburu
Seorang ayah dari pedalaman terpencil, yang berburu rusa untuk menghidupi keluarganya, tidak bisa disalahkan dengan undang undang perlindungan hewan. Dia tidak salah. Dari kecil dia melihat ayahnya berburu objek yang sama. Dari kecil, dia dihidupi ayahnya dengan cara yang sama. Sampai hari ini, belum juga sampai di telinganya perihal rusa yang telah masuk dalam daftar hewan yang dilindungi.
Seandainya sampai di telinganya pun, ayah ini akan tetap berburu. Jangkauannya terbatas pada apa yang dia amati dari kecil. Yang mengeluarkan undang undang tadi, apakah sudah memikirkan ayah ini harus berburu apa selanjutnya? hutannya cuma ada rusa. Istrinya masih sama, butuh makan. Anaknya masih sama, butuh makan. Sedangkan yang ayah tahu, hanya berburu rusa.
________________
Kadang penyampaian kebenaran justru akan menimbulkan perpecahan dan hilangnya kedamaian. Seorang suami istri yang hidup dengan sangat rukun semenjak awal pernikahannya, bisa tiba tiba perang dunia ketiga, ketika suaminya akhirnya berterus terang,
bahwa dia telah nikah lagi.
________________
Menyelam kedalam diri, menemukan diri sejati. Hidup yang penuh dengan keberartian, adalah dambaan setiap orang.
Kadang benar itu tidak selalu satu. Dua hal yang berbeda, bisa sama sama benar.
Setelah sekian lama saya tahu cerita ini, baru belakangan cerita ini benar benar berkesan di hati. Ceritanya adalah tentang 3 orang buta yang ingin mendeskripsikan bagaimana bentuk gajah. Mari kita ingat kembali kisah ini baik-baik.
Orang pertama megang belalai gajah. Dia berkata, gajah itu seperti ular. Lonjong panjang dan bisa bergerak gerak.
Orang kedua megang kuping gajah. Dia berkata, gajah itu gepeng, lebar, dan pipih.
Orang ketiga beda lagi, dia memegang ekor gajah dan berkata, gajah itu mirip ular, tapi ada rambutnya.
Timbul sebuah pertanyaan, siapakah dari ketiga orang tersebut yang benar?
semua nya benar. Menurut daya tangkap masing masing. Menurut kapasitas panca indra masing masing.
Artinya, bagi orang buta, deskripsi itu tidaklah salah. Kita yang bukan orang buta, mungkin dengan sangat mudah akan berkata, salah bro, gajah itu tidak seperti itu.
Masalahnya, apakah orang buta tadi bisa begitu saja percaya dengan kita? Loncatan kebenaran dari kebenaran temporer, kepada kebenaran yang lebih hakiki inilah yang terkadang tidak siap dihadapi oleh kebanyakan kita. Padahal, jangan jangan kitalah orang buta itu. Kita lah yang sedang meraba secara parsial, sementara orang lain sudah meraba nya secara menyeluruh
____________
10 = …. + …..
Jawabannya?
Semua jawaban bisa benar. Kalau Anda orang yang suka keseimbangan, mungkin akan menjawab 5 + 5. Jika Anda orang yang suka extreme, bisa menjawab 1 + 9. Kalau Anda orang yang cinta angka 3, Anda akan menjawab 3 + 7. Apakah itu salah? tidak, semua benar.
Apakah kebenaran agama juga relatif?
Hemat saya, ya. Dia juga relatif. Setidaknya, selama kita tidak bisa bertemu dengan Rasulullah dan menanyakan langsung kepada beliau, setiap kebenaran yang saya kemukakan, selalu bersifat relatif. Relatif sejauh pandangan saya, pengalaman hidup saya, dan kapasitas kecerdasan saya. Segala ajaran yang bersumber pada ulama, adalah relatif terhadap ulama tersebut saja. Semua yang kita klaim dari Rasulullah, mencontoh beliau, adalah tafsir kita masing-masing. Belum tentu apa yang kita tafsirkan 100% sama dengan apa yang Rasulullah inginkan.
Sangat sah sah saja jika ada ulama lain yang memiliki ajaran atau pemikiran lainnya. Kenapa ia disebut Sirothol Mustaqim? karena dia lurus, dan lebar. Banyak yang tertampung dalam jalan lurus tersebut.
Jalan lurus ini bukan jalan setapak yang hanya cukup untuk diri kita sendiri.
End of discussion. Mari berhenti berkata sayalah yang paling benar. Mari berhenti menyatakan bahwa kebenaran hanyalah yang ada pada diri saya. Kebenaran bisa menjadi milik siapapun. Milik saya di sini. Atau milik Anda disana. Yakini setiap kebenaran yang kita peroleh dari pengalaman pengalaman hidup. Selalu siap untuk pindah dari kebenaran yang satu, menuju kebenaran yang lebih baik.
27 Sept 2017,
Edited on 8 April 2023
If you can tell me what you want, I can tell you how to get them. The problem is, most of us don’t know what we want
Related posts:
- Life awareness: Seni menyadari kehidupan agar hidup masuk akal
- Hikmah Puasa Ramadhan #1: Relativitas dunia
- Ternyata Mudah! Cara Mempengaruhi Orang Lain (Bag 1)
- Perayaan Cinta Lelaki Senja
- Kedekatan Cinta (Terjemah bebas dari puisi Johann Wolfgang von Goethe)
- seri falsafah jawa “Urip mung mampir ngombe”: Kenapa harus “ngombe”? (Bagian 2)
- Ilmu tingkat tinggi! Cara mengalahkan sesuatu yang besar bahkan jauh lebih besar dari kita