Komersialisasi Kemiskinan: Siapa yang diuntungkan?
Kemiskinan adalah salah satu masalah sosial yang masih menjadi tantangan bagi banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2020 terdapat 26,42 juta orang miskin di Indonesia, atau sekitar 9,78 persen dari total penduduk. Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 24,79 juta orang atau 9,22 persen.
Dalam menghadapi masalah kemiskinan, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta. Sayangnya, tidak semua upaya tersebut bertujuan untuk memberantas kemiskinan secara berkelanjutan dan berkeadilan. Ada saja oknum yang memanfaatkan kemiskinan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan ekonomi atau politik. Fenomena ini disebut sebagai komersialisasi kemiskinan.
Komersialisasi kemiskinan adalah praktik yang mengeksploitasi kondisi kemiskinan untuk mendapatkan keuntungan materi atau non-materi. Praktik ini sering dilakukan dengan cara mengemas kemiskinan sebagai objek yang menarik perhatian publik, sehingga dapat menimbulkan simpati, belas kasihan, atau rasa bersalah. Dengan demikian, praktik ini dapat menghasilkan uang, popularitas, atau dukungan dari masyarakat.
Berikut beberapa contoh bentuk komersialisasi kemiskinan yang sering kita jumpai di media atau bahkan di sekitar kita
Komersialisasi kemiskinan untuk mencari iba
Ini adalah bentuk komersialisasi paling sederhana namun sering kita temui dimana mana. Fenomena nya di kota besar seperti Jakarta sering muncul ketika bulan ramadhan, tiba tiba saja sepanjang jalan ada manusia gerobak. Ada pula para pencari rongsok yang tiba tiba membludag di seluruh sudut kota. Ibu hamil yang menjual tisu, atau orang tua yang menjual air. Saya tidak mengatakan semua orang tersebut sedang mencari iba dan mengkomersilkan kemiskinan, namun apa yang mereka lakukan memang sangat dekat dengannya.
Mereka mencari iba dan sedekah dari orang lain. Padahal, banyak dari mereka yang masih mampu bekerja secara baik. Banyak pula yang akhirnya ketahuan kalau punya rumah mewah di kampung. Betapa moral manusia bisa semiskin itu. Mereka meng-iba kepada manusia lain yang mungkin saja hidupnya jauh lebih struggle ketimbang hidup mereka, namun memilih bekerja secara terhormat.
Kemiskinan untuk dramatisasi kehidupan
Komersialisasi kemiskinan yang satu ini sering kita temui dalam acara ajang pencarian bakat. Biasanya sang MC akan mengulik kisah hidup kontestan yang pelik dan penuh liku-liku. Tujuannya, ya agar rating acaranya makin bagus, yang kirim sms makin banyak, dan pundi-pundi uang dari acara itu bertambah.
Cobalah berpikir, berapa hadiah total yang didapat oleh pemenang ajang tersebut? bandingkan dengan kontrak kerja MCnya saja sudah jomplang kemana mana. Apalagi total pendapatan produsen acara tersebut. Acara lain seperti bedah rumah, belanja cuma diberi waktu 10 menit, semua sama. Mendramatisasi kemiskinan untuk kepentingan pribadi, programnya dapat iklan dan untung banyak.
Panitia kemiskinan
Salah satu contoh komersialisasi kemiskinan lain yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah penggunaan anak-anak jalanan sebagai alat untuk mengemis. Anak-anak jalanan sering dijadikan objek yang memilukan oleh para pengemis profesional yang memanfaatkan rasa iba masyarakat. Padahal, dengan cara ini, anak-anak jalanan tidak mendapatkan pendidikan dan perlindungan yang layak. Mereka juga rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi.
Panitia anak yatim, walau tidak semuanya, tapi ada juga yang seperti itu. Kadang, karena di musim tertentu anak yatim susah dicari sedangkan undangannya adalah santunan 1000 anak yatim, banyak yang bukan yatim di datangkan oleh panitia model begini. Ketika ditanya, ayahnya meninggal usia berapa, anak2 yang polos tentu menjawab ayahnya ada dirumah bekerja. Ini adalah bentuk komersialisasi kemiskinan yang sangat buruk.
Komersialisasi kemiskinan crowdfunding dan politik
Indonesia ini adalah negeri paling dermawan sedunia. Jika ada bencana, maka masyarakatnya akan berbondong2 menyumbangkan sedikit hartanya untuk meringankan beban saudaranya. Sayangnya, panitianya kadang penipu. Kita udah ikhlas bersedekah, ternyata bantuannya mandeg di gudang panitia sumbangan. Bahkan ada yang open donasi hingga terkumpul miliaran, namun yang disalurkan cuma beberapa juta saja. Sungguh biadab.
Contoh lain adalah pemberian bantuan sosial yang tidak tepat sasaran atau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin. Acara seperti ini biasanya dibalut dengan kampanye politik. Bantuan sosial yang diberikan secara sembarangan atau tidak transparan dapat menimbulkan ketergantungan dan kemandegan bagi penerima bantuan. Selain itu, bantuan sosial juga dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan dukungan politik atau popularitas.
Penutup
Komersialisasi kemiskinan bukanlah perbuatan baik yang seharusnya kita lakukan. Praktik ini justru menambah penderitaan dan ketidakadilan bagi masyarakat miskin. Praktik ini juga merusak nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas sosial yang seharusnya kita junjung tinggi. Oleh karena itu, kita perlu mengkritisi dan menolak praktik komersialisasi kemiskinan ini.
Salah satu cara untuk melawan komersialisasi kemiskinan adalah dengan meningkatkan kesadaran dan keterlibatan kita dalam isu-isu kemiskinan. Kita perlu mempelajari penyebab dan dampak dari kemiskinan secara komprehensif dan kritis. Kita juga perlu berpartisipasi dalam gerakan-gerakan sosial yang berupaya untuk memberdayakan dan mengadvokasi hak-hak masyarakat miskin.
Selain itu, kita juga perlu melakukan aksi-aksi sosial yang bersifat konstruktif dan berkelanjutan untuk mengatasi kemiskinan. Aksi-aksi sosial ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip kesejahteraan sosial, hak asasi manusia, dan keberlanjutan lingkungan. Aksi-aksi sosial ini juga harus melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat miskin sebagai subjek dan mitra dalam proses perubahan.
Salurkan donasi terbaik Anda di yayasan kami Maha Karya Bhakti Praja untuk kebaikan yang berkelanjutan. Dalam yayasan kami, donasi Anda 100% untuk sosial.